Ilmu Sosial di Era Disrupsi, Inovasi atau Basi?

Manusia berubah, masyarakat berkembang dan ilmu sosial berinovasi. Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri. Dimanapun kita berada dan kapan pun itu perubahan selalu membayangi dan mengintai kita layaknya sebuah kematian. Sekalipun kita berada di masyarakat tertutup yang teralienasi dari dunia luar, perubahan niscaya akan terjadi. Francis Fukuyama menyebut di era disrupsi saat ini perubahan mengandung dua makna yaitu gangguan dan inovasi. Perubahan bermakna sebagai sebuah gangguan bagi mereka yang konservatif atau yang selama ini dianggap menempati “zona nyaman” dalam sebuah hal. Akan tetapi perubahan bermakna sebagai inovasi bagi mereka yang menganggap bahwa perubahan adalah sebuah peluang atau kesempatan untuk menghasilkan karya ataupun mengasah jati diri yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi kehidupan manusia itu sendiri. Sayangnya di era disrupsi saat ini masih banyak orang yang menganggap bahwa perubahan adalah sebuah gangguan bagi kenyamanan mereka saat ini.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang signifikan dan masif mempengaruhi berbagai perubahan dalam segi kehidupan termasuk di dalam kehidupan sosial dan budaya. Salah satu pengaruh adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah berubahnya hubungan sosial dan interaksi sosial yang dikaji dalam ilmu sosial. Di dalam Revolusi Industri 4.0 bukan hanya ilmu eksakta saja yang berubah akan tetapi juga ilmu sosial. Salah satu nya adalah perubahan pada struktur sosial masyarakat yakni munculnya new society 5.0 yang dimulai di Jepang. Masyarakat baru 5.0 tersebut mengandalkan big data di dalam hubungan sosial dan interaksi sosial antar individu sehingga kolaborasi antar disiplin ilmu menjadi lebih urgen dalam kehidupan masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat, inovasi ilmu sosial adalah sebuah keniscayaan. Inovasi ini diperlukan untuk merubah paradigma keilmuan sosial dari teks menjadi konteks. Selain itu inovasi yang harus dilakukan pada ilmu sosial adalah menjadikan ilmu sosial bukan hanya mampu menafsirkan atau mendefinisikan tentang keadaan sosial dan ekonomi masyarakat akan tetapi ilmu sosial harus mampu mengubah kehidupan sosial ekonomi masyarakat atau menjadi salah satu pemecah masalah yang ada di dalam masyarakat. Dengan kata lain menciptakan sebuah inovasi yang nyata dalam bidang pemberdayaan masyarakat.

Dikotomi bahkan diskriminasi yang terjadi antara ilmu sosial dan ilmu eksakta di masyarakat terutama ilmu sosial. Ilmu sosial yang dianggap subordinatif salah satunya dipengaruhi oleh lambatnya kreatifitas dan inovasi pada ilmu sosial. Sudut pandang itu tentunya ada akarnya yang telah dikaji dan diteliti oleh salah satu ilmuwan Rognvaldur D. Ingthrosson. Rognvaldur D. Ingthrosson lewat kajiannya telah mengungkapkan beberapa penyebab mengapa ilmu masyarakat atau ilmu sosial secara metodologi dianggap terbelakang dibandingkan dengan ilmu alam atau ilmu eksakta . Beberapa penyebab atau alasan menurut temuan Ingthrosson yaitu bahwa ilmu eksakta selalu menjadi landasan dan acuan bagi perkembangan ilmu sosial karena metodologi dalam ilmu eksakta dianggap lebih pasti dan tidak ada spekulasi-spekulasi di dalamnya. Singkatnya, ilmu eksakta dengan metodologi yang ketat dianggap lebih empiris dan ilmiah sehingga dilihat mempunyai kedudukan atau strata yang lebh tinggi dibandingkan dengan kedudukan ilmu sosial seperti antropologi dan sosiologi. Dari sisi pragmatis, kesempatan yang luas dalam hal peluang mendapatkan pekerjaan bagi mereka yang menekuni bidang ilmu eksakta dibandingkan dengan ilmu sosial semakin memperlebar jurang diskriminasi pada kedua ilmu tersebut. Ditambah stereotype awam bagi orang tua yang cenderung ingin anaknya menekuni bidang eksakta dibandingkan ilmu sosial maupun ilmu humaniora. Oleh karena itu sangat penting inovasi terhadap ilmu sosial untuk menghilangkan jurang diskriminasi antara kedua ilmu tersebut.

 Inovasi ilmu sosial sangat penting dilakukan karena ilmu sosial adalah salah satu ilmu dalam pembentukan karakter dan sikap empati dalam kehidupan sosial. Fungsi lain dari inovasi ilmu sosial adalah meningkatkan literasi manusia. Revolusi Industri 4.0 menuntut manusia untuk mengembangkan berbagai literasi antara lain literasi manusia, literasi teknologi dan literasi data. Efek dari inovasi ilmu sosial terhadap literasi manusia adalah meningkatkan kepekaan sosial dan kepedulian sosial di tengah-tengah semakin individualisnya dan menipisnya rasa kolektifitas manusia sebagai akibat dari Revolusi Industri 4.0 yang cenderung berpola mekanik seperti robot dalam berbagai perusahaan modern. Steve Jobs, pendiri sekaligus pemilik perusahaan besar Apple. Inc mengatakan bahwa teknologi saja tidak cukup, Teknologi harus dikawinkan dengan liberal arts dan humaniora yang bertujuan untuk membahagiakan hati manusia sendiri, teknologi membutuhkan seni, sastra maupun sejarah serta ilmu sosial humaniora lainnya. Teknologi tidak bisa berdiri sendiri dan membutuhkan kolaborasi dengan ilmu lainnya termasuk ilmu sosial.

Di era yang tidak lagi monodisiplin tetapi interdisiplin ini bahwa stereotip humanis sudah tidak lagi relevan sebagai sosok yang terasingkan di sebuah pojok ruangan remang-remang dalam sebuah kehidupan. Pekerjaan yang berkolaborasi lebih dibutuhkan dibandingkan dengan pekerjaan yang berkompetisi. Begitu juga inovasi dalam inovasi ilmu sosial tentunya membutuhkan kolaborasi dengan ilmu lainnya termasuk ilmu eksakta misalnya dalam hal social engineering atau rekayasa sosial dalam proyek literasi digital. Manusia dengan proyek humaniora digital, para humanis bisa terlibat dalam era digital. Dengan menggunakan humaniora digital, para humanis atau mereka yang ahli dalam bidang ilmu sosial dan humaniora bisa dilatih dalam pengaplikasian teknologi informasi dan komunikasi untuk literasi digital dalam kehidupan manusia. Sebagai contoh yang paling mudah adalah dalam bidang pengarsipan atau dokumentasi. Mereka yang ahli dalam bidang teknologi dan informasi lah yang memahami perangkat untuk mengarsipkan. Akan tetapi siapa yang lebih mengerti dan memahami konten-konten untuk tujuan dan manfaat literasi ? Tidak ada yang lebih percaya dan meyakinkan daripada mereka yang sudah terlatih dan terbiasa dalam membaca dan menekuni dokumen sejarah, teks filsafat, naskah sastra serta menekuni seni dan lain-lain yang semuanya itu tentunya dimiliki oleh mereka yang ahli dalam bidang sosial dan humaniora. Dengan kolaborasi antar ilmu pengetahuan atau interdisiplin ini lah dikotomi antara ilmu sosial dengan ilmu eksakta akan hilang karena kedua ilmu ini saling membutuhkan dalam membangun sebuah peradaban manusia tentunya dengan inovasi pada ilmu sosial terlebih dahulu. (Datu Jatmiko)