Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Teliti Kesetaraan Gender dalam Kepemilikan Tanah

Sertifikat tanah menjadi sangat penting karena berhubungan dengan legitimasi kepemilikan terhadap sebidang tanah, sebagaimana ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam peraturan tersebut tidak menunjukkan adanya perbedaan atau klasifikasi berdasarkan gender dalam persoalan kepemilikan. Sayangnya, dalam banyak kasus, pihak perempuan memiliki tingkat kerentanan atau keterbatasan lebih besar dalam mengakses hak-hak sumber daya yang dimilikinya, termasuk dalam upaya menyertifikasi tanah miliknya. Melihat keprihatinan ini mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY) yang terdiri dari Adhis Tessa (Pendidikan Sosiologi), Retno Tri Suryani (Ilmu Administrasi Negara), dan Vina Mathlaul Ilma (Pendidikan Ekonomi) melakukan penelitian tentang “Upaya Perempuan dalam Mewujudkan Kesetaraan Gender Melalui Kepemilikan Sertifikat Tanah” di bawah bimbingan Dr. M. Alie Humaedi, M.Ag., M. Hum, Peneliti Ahli Utama bidang Kajian Budaya Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Nur Hidayah, S.Sos., M.Si., dosen FIS UNY.

Adhis Tessa menjelaskan bahwa penelitian dilakukan di Desa Kranggan, Maniserenggo, Klaten, Jawa Tengah karena masyarakat di desa tersebut masih memegang kuat sistem patriakhi, seperti konsepsi koncowingking yang dipegang sebagian besar perempuannya. Adapun penelitian ini bertujuan mengungkap bagaimana upaya perempuan dalam proses kepemilikan sertifikat tanah sebagai wujud kesetaraan gender dalam sumber daya ekonomi, apa saja faktor-faktor pendorong dan penghambatnya, dan bagaimana dampak kepemilikan sertifikat tanah atas nama perempuan.

“Kajian dalam penelitian ini dapat menjadi rekomendasi perumusan kebijakan, khususnya terkait implementasi prinsip afirmasi pemerintah dalam pengarasutamaan gender dalam semua aspek kehidupan masyarakat. Sertifikasi atas nama perempuan menjadi sangat strategis dalam menentukan indikator keberhasilan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh pemerintah” jelas mahasiswa Pedidikan Sosiologi tersebut.

Retno Tri Suryani menambahkan, penelitian mampu mengungkapkan bahwa pada 6 tahun terakhir, perempuan di Kranggan mulai mengupayakan kepemilikan tanah waris atau pembelian atas nama dirinya. Adapun faktor pendorong perempuan menyertifikasi tanahnya antara lain tabungan masa depan 25% dan kesejahteraan 24% sedangkan faktor penghambat meliputi faktor struktural dan kultural. Ada kolerasi negatif dalam faktor itu sebesar -0,382, terlihat semakin kuat nilai patriarkhi, semakin rendah kepemilikan sertifikat atas nama perempuan. Berdasarkan analisis gender model Harvard, terdapat ketimpangan gender. “Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dampak sosial ekonomi kepemilikan sertifikat tanah oleh perempuan dapat menjamin kehidupan masa depannya” imbuhnya.

Selain temuan substansi di atas, lanjut Retno, penelitian ini menghasilkan beberapa capaian target luaran seperti makalah penelitian yang diseminarkan dalam seminar internasional Social Studies, Moral, and Character for Sustainable Development dan sebuah artikel yang di submit ke Jurnal Masyarakat dan Budaya LIPI terakreditasi nasional. Luaran lainnya adalah Policy brief untuk kebijakan pengarusutamaan gender bagi Badan Pertanahan Nasional dan Buku berjudul Koncowingking dan Posisi Antara Kaum Perempuan: Kasus Sertifikat Tanah Di Pedesaan Jawa (ISBN: 978-602-451-235-4); v) Mini Book: Pendidikan Kesetaraan Gender untuk Siswa SMA.

Sementara itu, Vina Mathlaul Ilma menjelaskan, ada empat strategi yang dapat dilakukan untuk afirmasi pemerintah dalam memuluskan jalan bagi kelompok perempuan menyertakan nama diri pada sertifikat tanahnya. Pertama, adanya pembatasan pencantuman nama laki-laki dalam proses administrasi kepemilikan tanah. Kedua, pemerintah, khususnya Badan Pertanahan Nasional perlu melakukan pemeriksaan terinci mengenai hak awal dan sejarah kepemilikan tanah yang diajukan dalam proses pengadministrasiannya. Ketiga, sosialisasi terus menerus yang dilakukan pemerintah, baik dalam tataran paling rendah atau pemangku kepentingan dalam persoalan tanah, khususnya Badan Pertanahan Nasional, untuk menggugah kaum perempuan lebih aktif dalam proses pengadministrasian tanah hak miliknya. Keempat, mendorong munculnya kesadaran baru dengan adanya pemaknaan ulang terhadap falsafah koncowingking dan adanya upaya mengurangi sistem patriakhi dalam kasus pengadministrasian tanah.

“Keempat strategi di atas menjadi langkah signifikan bagi munculnya afirmasi sertifikasi tanah atas nama perempuan, sehingga akses kepemilikan sumber daya ekonomi dapat dilakukan secara berkeadilan dan pro perempuan, sebagaimana tuntutan kebijakan pengarusutamaan gender dalam berbagai bidang kehidupan” imbuhnya (Eko)

Berita ini juga dapat dibaca di https://www.uny.ac.id/berita/mewujudkan-kesetaraan-gender-melalui-kepemilikan-sertifikat-tanah